Putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beberapa telah dirunah dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana Perpu No.1 Tahun 2013 ini ditetapkan sebagai undang – undang oleh Undang-Undang No.4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang – Undang.
Putusan Hakim pada sidang peradilan mengandung 3(tiga) jenis amar atau putusan yang biasa terjadi seperti :
-
Tidak dapat diterima (Niet onvankelijk verklaard)
Biasanya putusan seperti ini terjadi disebabkan permohonan tidak mempunyai legal standing (kedudukan hukum) atau bisa saja karena Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutusakan perkara (permohonan).
-
Dikabulkan
Putusan ini terjadi hal mana permohonan dari pemohon cukup beralasan, sehingga dalam hal permohonan dikabulkan MK menyatakan dengan tegas bahwa materi terkait ayat, pasal, dan atau bagian dari undang – undang yang bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945).
3. Ditolak
Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.
Berdasarkan ketiga macam atau jenis putusan diatas merupakan hal sulit dalam sebuah pengujian sebuah undang – undang. Perumusan undang – undang biasanya dirumuskan secara umum, dalam perjalanan perumusan undang – undang yang umum itu sulit untuk mengetahui apakah kelak pelaksanaanya akan bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 atau tidak. Nah, Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum dituntut untuk memutuskan apakah sebuah undang – undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Selain putusan sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya, terdapat putusan lain dalam Mahkamah Konstitusi (MK) yakni :
-
Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
Putusan konstitusional bersyarat bercirikan sebagai berikut:
-
Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK;
-
Syarat – syarat yang ditentukan oleh MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat dalam proses pembentukan undang-undang;
-
Membuka peluang adanya pengujian kembali norma yang telah diuji, dalam hal pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan MK dalam putusannya;
-
Putusan konstitusional bersyarat menjadi acuan atau pedoman bagi MK dalam menilai konstitusionalitas norma yang sama;
-
Dilihat dari perkembangannya pencantuman konstitusional bersyarat, pada mulanya nampaknya MK mengalami kesulitan dalam merumuskan amar putusan dikarenakan terjadi pada perkara yang pada dasarnya tidak beralasan, sehingga putusannya sebagian besar ditolak, namun dalam perkembangannya putusan model konstitusional bersyarat terjadi karena permohonan beralasan sehingga dinyatakan dikabulkan dengan tetap mempertahankan konstitusionalitasnya;
-
Putusan konstitusional bersyarat membuka peluang adanya pengujian norma yang secara tekstual tidak tercantum dalam suatu undang-undang;
-
Putusan konstitusional bersyarat untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum;
-
Kedudukan MK yang pada dasarnya sebagai penafsir undang-undang, dengan adanya putusan model konstitusional bersyarat sekaligus sebagai pembentuk undang-undang secara terbatas.
Konstitusional bersyarat menurut Harjono dalam buku yang berjudul Konstitusi sebagai Rumah Bangsa menjelaskan bahwa jika sebuah ketentuan yang rumusannya bersifat umum di kemudian hari dilaksanakan dalam bentuk A, maka pelaksanaan A itu tidak bertentangan dengan Konstitusi (UUD NRI 1945). Akan tetapi, jika bentuk pelaksanaannya ternyata B, maka B akan bertentangan dengan Konstitusi. Dan demikian pasal tersebut bisa diuji kembali. Intinya adalah kalau undang-undang nanti diterapkan seperti A, ia bersifat konstitusional, namun jika ditetapkan dalam bentuk B, ia akan bertentangan dengan konstitusi.
-
Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional)
Putusan MK, Inkonstitusional bersyarat merupakan lawan atau kebalikan dari keputusan konstitusional bersyarat. Dalam kepututusan konstituional bersyarat dapat mengandung arti bahwa pasal yang dimohonkan untuk diuji dinyatakan tidak sesuai atau bertentangan secara bersyarat dengan undang – undang dasar 1945. Dengan kata lain, pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut pada saat putusan dibacakan tidak konstitusional (inkonstisional) apabila syarat yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak terpenuhi, dan akan konstitusional jika syarat sebagaimana yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi.
Pertama kali putusan konstitusional bersyarat terdapat dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 ber tanggal 01 Juli 2008 tentang pengujian pasal 12 huruf (c) undang – undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam amar putusan MK menyatakan pasal 12 huruf (c) tetap konstitusioanal sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakilinya.
Pertama kali putusan “inkonstitusional bersyarat” terdapat dalam amar putusan MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 dan Pasal 58 huruf f Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemberlakuan pasal-pasal tersebut melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), melanggar hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
Referensi:
-
Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.
Disclaimer:
Informasi yang termuat dalam website ini disajikan untuk tujuan informasi umum, tidak dimaksud sebagai nasihat hukum dan informasi mungkin tidak berlaku untuk keadaan faktual atau hukum tertentu.