DOKUMEN AMDAL DALAM PELAKSANAAN HUKUM LINGKUNGAN MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

DOKUMEN AMDAL DALAM PELAKSANAAN HUKUM LINGKUNGAN MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

PENDAHULUAN

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), walaupun masih mendapat kritikan dari masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tersebut menghapus dan/atau mengubah serta menggabungkan beberapa undang-undang yang berlaku ke dalam satu undang – undang.

Substansi Undang – Undang  No.11 Tahun 2020  tentang  Cipta Kerja telah mengubah sejumlah ketentuan di banyak  undang – undang,  salah satunya undang – undang  nomor 32  tahun  2009  tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),  khususnya yang terkait dengan pengaturan analisis dampak lingkungan (Amdal).  Sedikitnya terdapat 7 (tujuh) poin penting pengaturan Amdal dalam undang – undang Cipta Kerja. Pertama, ada perubahan nomenklatur perizinan dari izin lingkungan menjadi izin usaha. Kedua, pengintegrasian izin lingkungan. Ketiga, komisi penilai Amdal diganti menjadi tim independen yang akan melakukan penilaian dokumen Amdal. Keempat, pengujian  kelayakan Amdal. Kelima, dalam penyusunan Amdal juga melibatkan masyarakat,  tapi hanya untuk yang masyarakat terdampak.  Keenam, penetapan kriteria usaha dan/atau kegiatan berdampak penting.  Ketujuh, integrasi izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  (PPLH) dan Amdal ke dalam dokumen lingkungan.[1]

Pengaturan pengelolaan lingkungan menurut UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta dengan sejumlah perubahan tidak merubah substansi dokumen AMDAL.  Substansi dokumen dimaksud meliputi : Pertama,  pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.  Kedua,  evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketiga,  saran masukan serta tanggapan masyarakat yang terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.  Keempat,  perkiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan. Kelima, evaluasi secara holistik untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.  Keenam, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Secara prinsip dan konsep pengaturan analisis dampak lingkungan (Amdal) tidak berubah,  tapi  disempurnakan dalam peraturan pelaksana sesuai tujuan undang – undang  Cipta  Kerja  yang  memberi  kemudahan  untuk  mendapatkan  persetujuan  lingkungan.  Amdal  bersifat  wajib  hanya  untuk  dokumen  lingkungan hidup yang berisiko tinggi,  namun menurut masyarakat dan para aktivis yang selama ini peduli dengan masalah lingkungan hidup, undang – undang Ciptaker dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak menjamin  kelestarian  alam. Undang – undang Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam undang – undang  Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Salah  satu  isu  yang  menjadi  sorotan  adalah mengenai ketentuan analisis mengenai dampak  lingkungan hidup (Amdal).

Perubahan – perubahan dalam undang – undang  Cipta Kerja yang mengubah ketentuan  undang – undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) terutama mengenai Amdal dan izin lingkungan dianggap oleh sejumlah pegiat lingkungan sebagai  pelemahan  yang  mengancam  kelestarian  alam, apalagi analisis dampak lingkungan  hanya  untuk  proyek  berisiko  tinggi, sedangkan  dasar  untuk  menentukan proyek  berisiko  rendah  atau  tinggi  belum  terang  benar  aturan  mainnya  sampai sekarang. Ada pula kekhawatiran bahwa perubahan aturan ini berpotensi mudahnya menerbitkan Amdal “abal-abal” karena proses penerbitan Amdal ini tanpa kontrol masyarakat.  Padahal,  partisipasi  masyarakat  menjadi  “jiwa”  dalam  penerbitan  Amdal.

PEMBAHASAN

A.  Undang – Undang Cipta Kerja Cluster Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang – Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari berbagai beragam paket peraturan, menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, salah satunya menyoal dampaknya pada masa depan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu pasal yang mengalami penyesuaian adalah pasal yang mengatur soal lingkungan hidup, yang tadinya diatur dalam Undang – undang nomor 32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian beberapa pasal diubah oleh undang – undang Cipta Kerja, perubahan dimuat dalam peraturan turunan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lebih lanjut, hal yang lebih detail diatur dalam PP No. 22/2021. Namun, PP tersebut hanya mengijinkan masyarakat yang terkena dampak langsung yang berhak dilibatkan dalam konsultasi publik. Akan tetapi akhirnya pemerhati lingkungan hidup, peneliti atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendampingi telah masyarakat terdampak langsung tersebut juga bisa terlibat sebagai bagian masyarakat terdampaklangsung.
undang – undang cipta kerja telah merubah, menghapus dan bahkan membatalkan beberapa pasal yang terdapat pada undang – undang nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Beberapa pasal yang dirubah adalah sebagai berikut :

UU 32/2009 UU 11/2020 Perubahan Dan  Implementasi
Pasal 1 Ketentuan Umum

AMDAL, UKL-UPL, Izin

Lingkungan, Izin Usaha.

Perubahan Angka 11, 12, 35, 36, 37,38

Terkait penghapusan

izin lingkungan dan penyesuaian nomenklatur pemerintah sesuai UU 12/2011

§  Amdal adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah;

§  UKL-UPL adalah rangkaian proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah;

§  Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat

Pasal 20 tentang Baku Mutu Lingkungan Perubahan pada ayat (2)  untuk  komponen Baku Mutu Lingkungan §       baku mutu air; baku mutu air limbah; baku mutu air laut; baku mutu udara ambien; baku mutu emisi; baku mutu gangguan; dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

§       “Izin” pembuangan limbah menjadi “persetujuan” pembuangan limbah (pusat atau daerah)

Pasal 24 – 32 Ketentuan terkait AMDAL Penambahan substansi                          Pasal 24 §  Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.

§  Uji kelayakan lingkungan hidup dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat.

§  Tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.

§  Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.

§  Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah

  Pasal 25 terkait Muatan   Dokumen AMDAL Dokumen Amdal memuat substansi sama dengan UU 32/2009 hanya berubah pada huruf c terkait keterlibatan masyarakat:

c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

Cttn: Ketentuan Pasal 70 ttg Pelibatan Masyarakat tidak diubah!! Pasal 26 Utamanya pada ayat (2):

Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan

Pasal 24 – 32 Ketentuan Terkait AMDAL Perubahan Pasal 27 terutama pada kata “dapat  meminta bantuan” Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain.

 Keterlibatan aktif pemrakarsa usaha, bukan hanya penyusun AMDAL menjadi lebih signifikan.

  Pasal 28, dihapus ayat (2), ayat (3), ayat (4) terkait kriteria kompetensi, dan lembaga sertifikasi Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal.

 Penghilangan ayat tentang kriteria dan lembaga sertifikasi akan menghilangkan kerancuan dan ketidakjelasan kompetensi yang ada sekarang. Kriteria penilaian menjadi kewenangan Pemerintah.

Termasuk kriteria penilaian yang memungkinkan portofolio dpt dijadikan rujukan.

  Pasal 29, 30, 31 Dihapus Komisi Penilai AMDAL dihapus pada semua level

 Peluang untuk memperbaiki kinerja dari pranata dalam penilaian kelayakan lingkungan

  Pasal 32 diubah ketentuannya terkait dengan jenis usaha yg dapat dibantu oleh Pemsimplifikasi dan standarisasi untuk UKL-UPL Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

 Merujuk lebih jelas pada kriteria “mikro dan kecil”

Pasal 34 Ketentuan Terkait UKL-UPL,   §       Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.

§       Pemenuhan standar UKL-UPL dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

§       Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

§       Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL.

Pasal 35 Ketentuan SPKPLH Penyederhanaan §  Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang diintegrasikan ke dalam Nomor Induk Berusaha.

§  Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan dilakukan terhadap kegiatan yang termasuk dalam kategori berisiko rendah.

Pasal 36 ttg Izin Lingkungan Dihapuskan

Pasal 40 dan 41 juga dihapus

§  Penghapusan izin dan diganti dengan Persetujuan Lingkungan

§  Penguatan ada pada ketentuan ttg AMDAL dan UKL-UPL tersebut diatas.

§  Kementerian harus dapat “drive” arah perizinan berusaha ini.

Pasal 37 ttg Pembatalan Izin Lingkungan Perubahan konteks pada “Persetujuan Lingkungan” Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:

a.    persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b.    penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau

c.     kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 38 ttg pembatalan izin lingkungan melalui PTUN dihapus Karena izin lingkungan dihapus, maka pasal ttg hak gugat TUN dihapus.
Pasal 39 ttg pengumuman izin lingkungan Diubah dan disesuaikan konteksnya § Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup diumumkan kepada masyarakat.

§ Pengumuman dilakukan melalui sistem elektronik dan/atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 55 tentang Dana Penjaminan Perubahan konteks pada “Persetujuan Lingkungan” § Pemegang Persetujuan Lingkungan wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.

§ Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

§ Pemerintah Pusat dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.

§ Pengubahan terutama pada kewenangan Pemerintah secara tersentral.

Pasal 59 tentang Pengolahan Limbang B3 Perubahan pd konteks kewenangan Pemerintah § Setiap orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya.

§ Dalam hal B3 telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan Pengelolaan Limbah B3.

§ Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan Limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

§ Pengelolaan Limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

§ Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

§ Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan

Pasal 61 ttg Dumping Perubahan pada aspek kewenangan § Dumping hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

§ Dumping hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan

Pasal baru antara Pasal          61 – 62 Penambahan pasal baru ttg Limbah B3 Pasal 61A

Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:

a.    menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, dan/atau mengolah B3;

b.    menghasilkan, mengangkut, menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau menimbun Limbah B3;

c.     melakukan pembuangan air limbah ke laut;

d.    melakukan pembuangan air limbah ke sumber air;

e.    membuang emisi ke udara; dan/atau

f.      memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah;

yang merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau UKL-UPL

Pasal 63 terkait dgn Kewenangan Pemerintah dan Pemda Diubah dan disesuaikan konteksnya § Perizinan dan kewenangan terpusat

§ Keterlibatan Pemda dalam Persetujuan Lingkungan

§ Pengawasan dan pembinaan tetap menjadi kewenangan Pemda namun harus sesuai dengan NSPK yang akan ditetapkan Pemerintah melalui PP

Pasal 69 ttg Larangan Penyesuaian Konteks § Perubahan pada larangan terkait dengan rekayasa genetika dengan mengganti “izin lingkungan” dengan “persetujuan lingkungan”

§ Penambahan ayat (2) “pembukaan lahan dengan cara membakar dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”

Pasal 71 terkait dgn Pengawasan Pemerintah dan Pemda Diubah dan disesuaikan konteksnya § Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

§ Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

§ Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

Pasal 72 ttg Pengawasan Penyesuaian Konteks § Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
Pasal 73 ttg Pengawasan Penyesuaian Konteks § Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
Pasal 76 ttg Sanksi Administratif Penyesuaian Konteks dan perbaikan § Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Pasal 77 ttg Sanksi Administratif Penyesuaian Konteks § Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 79 dihapus Penyesuaian Konteks § Penghilangan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan karena tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 82 diubah Penyesuaian Konteks sentralisasi kewenangan § Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.

§ Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

Pasal 82 Penambahan 3 Pasal baru Pasal 82 A Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

a.   Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah

b.   persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dikenai sanksi adminitratif

  Pasal 82 B (1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

a.  Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah

b. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dikenai sanksi adminitratif

c.  persetujuan dari Pemerintah Pusat yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif.

Pasal 82 Pasal 82 B Ayat (2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:

a.    melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain yang diperlukan; atau

b.    menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi administratif.

  Pasal 82 B Ayat (3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikena i sanksi administratif
Pasal 82 Pasal 82 C Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa:

a.    teguran tertulis;

b.    paksaan pemerintah;

c.     denda administratif;

d.    pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

e.    pencabutan Perizinan Berusaha

Pasal 88 tentang Strict Liability Perubahan yg bersifat de- orientasi dari tanggung jawab mutlak (pelemahan) Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya
Pasal 93 ttg Gugatan Administratif Dihapus Konsekuensi karena izin lingkungan dihapus maka tdk ada mekanisme gugatan administratif atas izin lingkungan  kesan bahwa persetujuan lingkungan sangat informal
Pasal 102 ttg Pidana dlm pengolahan LB3 tanpa izin Dihapus Pada satu sisi memberikan pemahaman bahwa “kewajiban thdp LB3 yg utama adalah dilakukan pengolahan, dlm hal izin blm/terlambat dimiliki krn isu teknis/procedural, maka pengolahan LB3 tetap bisa jalan tanpa ada kekhawatiran ancaman pidana (kasus CPI)
Pasal 109 ttg pidana terkait izin lingkungan Diubah, penyesuaian konteks Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

a.      Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4);

b.   persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau

c.   Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);

yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah

Pasal 110 tentang pidana penyusun amdal dihapus  
Pasal 111 tentang  pidana bagi  pejabat Diubah, penyesuaian konteks Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL- UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
Pasal 112 tentang pidana bagi                  pejabat pengawas Diubah, penyesuaian konteks Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 1, 24-31 Persetujuan Lingkungan, AMDAL, UKL-UPL, Uji Kelayakan Lingkungan, Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan,Kompetensi Penyusun AMDAL, Standar UKL-UPL. SPKPLH untuk yang tidak wajib AMDAL atau  UKL=UPL Izin Lingkungan dan Permen Linkungan Hidup terkait (AMDAL, Proses Penyusunan, Penilaian, UKL-UPL), seluruh peraturan sektor dan daerah ttg UKL-UPL, SPKPLH,
Pasal 20 Baku Mutu Lingkungan PP Baku Mutu Air, Baku Mutu lainnya yg masih belum terwujud dari UU 32/2009
Pasal 55 Dana Penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan PP 46/2019 tentang Instrumen Ekonomi                                                                                   Lingkungan
Pasal 59, 61 Pengolahan LB3, Dumping PP 101/2014 tentang Pengolahan Limbah B3
Pasal 63 NSPK dalam Kewenangan Pemerintah Daerah PP Baru
Pasal 71 Pejabat Pengawasan LH Dapat dibarengkan dgn PP NSPK
Pasal 76 Sanksi Administratif PP baru (di UU 32/2009 jg diamanatkan)[1]

 

B. PENGARUH ATAU DAMPAK PERUBAHAN AMDAL PASCA UANDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020

Pemerintah  melalui  kementerian  koordinator  bidang  perekonominan  Republik  Indonesia  menyatakan:  Pemerintah  memastikan  tidak  ada  penghapusan izin  analisis  dampak  lingkungan  (AMDAL)  dalam  Undang  – Undang  Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) atau Omnibus Law di sektor lingkungan.  Persetujuan lingkungan  merupakan  persyaratan dasar Perizinan Berusaha.  Sekretaris Kementerian  Koordinator  Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, AMDAL hanya dibuat sederhana agar aturannya tidak berbelit – belit. “AMDAL  tidak  dihapus,  dan  tetap  ada,  akan  tetapi prosesnya dibuat menjadi lebih  sederhana,  sehingga  waktu  dan  biaya  yang dibutuhkan menjadi lebih efisien,” ujar Susiwijono dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).

Undang – undang Cipta Kerja mengatur bahwa prinsip dan konsep dasar AMDAL tidak berubah,  tetap  sesuai  ketentuan  sebelumnya.  Perubahan  hanya terkait pemberian kemudahan dalam memperoleh persetujuan lingkungan.  Izin lingkungan diintegrasikan ke dalam Perizinan Berusaha untuk meringkas sistem perizinan  dan  memperkuat  penegakan hukum.  Lebih  jauh Susiwijono menjelaskan, AMDAL dikembalikan kepada fungsi dan proses sebenarnya yaitu dokumen teknis dan ilmiah studi kelayakan lingkungan hidup yang kemudian digunakan sebagai syarat perizinan berusaha yang memuat ketentuan atau kewajiban dari aspek lingkungan.  Tahapan izin Lingkungan diringkas menjadi 3 tahap yaitu proses dokumen  lingkungan,  persetujuan  lingkungan  dan Perizinan Berusaha. Hal tersebut,  lanjut  Susiwijono  diperkuat  dengan  Pasal  1  Angka 11 yang menyebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan  sebagai  prasyarat  pengambilan  keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan lama, izin lingkungan terpisah dari Perizinan Berusaha, maka apabila ada pelanggaran dan dikenakan  sanksi  pencabutan izin, yang dicabut hanya izin lingkungan, izin usaha tetap jalan.   Namun,  di undang – undang  Cipta Kerja, izin lingkungan terintegrasi dengan  perizinan berusaha, apabila ada pelanggaran dan dikenakan sanksi pencabutan  izin, yang dicabut sekaligus  Perizinan  Berusaha.  Persetujuan lingkungan menjadi dasar penerbitan Perizinan Berusaha sebagai Keputusan Tata Usaha Negara.   Pasal  24 (ayat 1-6) juga menyebutkan, dokumen AMDAL merupakan  dasar  uji  kelayakan lingkungan hidup. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan  hasil  uji  kelayakan lingkungan hidup. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Sementara Pasal  37 menjelaskan, Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila penerbitannya tanpa memenuhi  syarat  sebagaimana  tercantum  dalam  Keputusan  Kelayakan Lingkungan  Hidup  atau  Pernyataan  Kesanggupan  Pengelolaan  Lingkungan Hidup ; atau kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL – UPL  tidak dilaksanakan  oleh  penanggung  jawab  usaha  dan/atau  kegiatan.[2]

Bagaimanapun,  tidak  dapat  dimungkiri  bahwa  adanya  perubahan pada undang – undang terkait pengelolaan lingkungan melalui undang – undang Cipta Kerja telah memberi dampak dan pengaruh langsung ataupun tidak langsung. Pengaruh  tidak  langsung  adalah  terkait  penyederhanaan  ijin  lingkungan dimaksud,  sementara dampak langsungnya adalah terkait  fiksik  lingkungan hidup itu sendiri.  Berikut table perbandingan dokumen AMDAL antar UU 32/2009, UUPPLH dengan UU 11/2020, Cipta Kerja :

 

TABEL 1

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
1.   Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. 1.   Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
2.   Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. 2.   Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/ atau kegiatan.
3.   Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. 3.   Ketentuan lebih tanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan pemerintah.
4.   Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. [3]  

 

TABEL 2

HAL UUPPLH UU CIPTA KERJA
Tahapan 1. Proses dokumen lingkungan  (Amdal atau UKL-UPL)

2. Persetujuan lingkungan,
3. Izin Lingkungan,
4. Izin Usaha

1. Proses dokumen  lingkungan Amdal atau (UKL-UPL),

2. Persetujuan Lingkungan,

3. Perizinan Berusaha

Dasar proses perizinan

 

a.    Dampak penting bagi lingkungan

b.   Tidak berdampak penting bagi
lingkungan

a.   Risiko tinggi

b.   Risiko menengah

c.   Risiko rendah

Penilai Amdal

 

Komisi Penilai Amdal (KPA) Lembaga Uji Kelayakan (LUK)
Pembentuk Penilai Amdal Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya
Pemerintah Pusat
Anggota Penilai Amdal

 

a.       Instansi lingkungan hidup dan
teknis terkait;

b.      Pakar bidang lingkungan dan
pakar sesuai jenis kegiatan/ usaha

c.       Wakil dari masyarakat yang
berpotensi terkena dampak
-Organisasi lingkungan hidup

LUK menunjuk Tim Uji
Kelayakan yang terdiri dari:

a.    Unsur pemerintah pusat
pemerintah daerah

b.   Pakar bersertifikat yang
kompeten di bidangnya

c.    Masyarakat yang terkena
dampak langsung

     
Unsur masyarakat yang dilibatkan dalam penilaian Amdal a.       Masyarakat yang terkena dampak kegiatan/usaha
Pemerhati lingkungan

b.      Masyarakat yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan
dalam proses Amdal

Masyarakat yang terkena dampak langsung
Bantuan dari pemerintah berupa
fasilitasi, biaya, dan/ atau penyusunan Amdal
Bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang
berdampak penting terhadap
lingkungan hidup.
Bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Jika terjadi pelanggaran lingkungan Konsekuensi terhadap Izin Lingkungan Konsekuensi terhadap Perizinan Berusaha

 

 

C. DAMPAK PENYEDERHANAAN PERIZINAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Press Conference-nya menyatakan bahwa prinsip dan konsep dasar pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja tidak berubah dari ketentuan sebelumnya. Perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dan aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan dengan dampak langsung adalah untuk memberikan perhatian lebih terhadap mereka, namun tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM Pembina masyarakat terkena dampak.

Penunjukan  subjek  Pemerintah  Pusat  sebagai  pembentuk  LUK berpotensi akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam birokrasi, di mana kewenangan instansi  berpotensi  lebih  mudah  diubah  karena  hanya  diatur  dalam level peraturan  pemerintah.  Sementara  itu sejumlah pihak juga menilai bahwa kemampuan  pemerintah  pusat  dalam  mengambil  alih  semua  kewenangan dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas. Karena masalah  lingkungan  hidup  sifatnya  sangat  site specific. Dalam  pelaksanan tugasnya  LUK menunjuk  Tim  Uji  Kelayakan  yang  terdiri  dari  unsur  pemerintah pusat,  pemerintah  daerah  dan  juga pakar bersertifikat yang kompeten di bidangnya.[4]

Unsur  pemerintah  daerah  dalam  tim  ini  harus  dapat  memberi kajian dan penilaian yang  objektif berdasarkan situasi dan kondisi lingkungan serta kekhasan yang dimiliki daerah masing – masing. Perizinan berbasis risiko dalam undang – undang  Cipta  Kerja  berhubungan  erat dengan pelaku usaha dan kegiatan usaha yang berpotensi besar merusak atau mencemari lingkungan. Izin makin ketat diberikan apabila tingkat risikonya makin tinggi. Apabila terjadi pelanggaran atau pelaku  usaha tidak dapat mempertahankan kualitas  lingkungannya sebagaimana yang tertuang dalam Dokumen Amdal, maka “risk based”-nya negatif,  dan  yang  akan  terkena  konsekuensi  adalah izin utamanya yaitu Perizinan Berusaha. Pencabutan izin Perizinan Usaha bagi perusahaan yang  telah  mencemari  lingkungan  merupakan salah satu upaya agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah. Kelestarian lingkungan  ini  juga  dilindungi  dalam  usaha  peningkatan standarisasi  kriteria dalam NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) termasuk dalam sertifikat standar UKP – UPL dan Amdal.

 

SIMPULAN

Adanya  peraturan   pelaksana  undang – undang  Cipta  Kerja  merupakan  hal penting  agar  undang – undang  ini dapat diimpentasikan dengan baik.  Berbagai ketentuan dalam  peraturan  pelaksanaan  misalnya  terkait  kriteria tingkat risiko usaha/kegiatan, mekanisme  uji  kelayakan  Amdal,   termasuk  bentuk dan mekanisme partisipasi  masyarakat  dalam  proses  perizinan  lingkungan,  akan  menjadi  evidence sejauh mana undang – undang ini mempunyai  keberpihakan  terhadap  kelestarian  lingkungan,  dan  tidak hanya menggenjot  iklim  investasi  dan usaha semata.

Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi tentang perizinan lingkungan berdasarkan undang – undang Cipta Kerja agar tidak terdapat kesalahan informasi dan penafsiran  yang  makin memicu kekhawatiran  masyarakat akan kelestarian lingkungan. Komisi IV DPR RI perlu melakukan fungsi  pengawasan  terhadap  implementasi  undang – undang  Cipta  Kerja  dalam  upaya  penegakan  hukum lingkungan.  Komisi I V DPR RI juga perlu mendesak Pemerintah untuk segera  menyusun  peraturan  pelaksanaannya  antara  lain PP mengenai tata laksana Perizinan  Berusaha  berbasis  risiko,  uji  kelayakan  lingkungan  hidup, serta proses pelibatan  masyarakat  dalam  penyusunan  perizinan lingkungan.[5]

Kesimpulan dari penjabaran  makalah  dengan judul :  Dokumen Amdal Dalam Pelaksanaan Undang – Undang  Nomor  11  Tahun  2020 Tentang Cipta Kerja sebagai berikut :

  1. Undang – undang Cipta Kerja “downgrading” perizinan lingkungan menjadi “persetujuan  lingkungan”  meskipun  dengan  penguatan  konsep  penegakan hukum yang sama atas izin lingkungan (terintegrasi, prasyarat).
  2. Kewenangan pemerintah daerah di hulu Kominisi Penilaian Amdal (KPA) dipangkas, namun Lembaga  Uji  Kelayakan  berpotensi  untuk  menghilangkan  masalah  – masalah klasik dari KPA.
  3. Potensi kemerosotan  lingkungan  dan  pentaatan hukumnya sangat besar pengawasan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan, sekaligus kompetensi pejabat pengawas di daerah.
  4. Perlu sinergi  dan  inisiatif  dari  Pemerintah daerah  agar  konsisten  dan  komitmen dalam  pengawasan dan penegakan hukum (preventif pada level hilir).
  5. Penguatan konteks pengawasan dan penegakan hukum administrative.
  6. Perlu sinergi dengan  sektor  lain untuk penguatan pelaksanaan pasca undang – undang  Cipta Kerja.

REFERENSI

Ady Thea DA, tujuh poin penting pengaturan amdal dalam UU Cipta Kerja. https://www.hukumonline.com/berita/a/7-poin-penting-pengaturan-amdal-dalam-uu-cipta-kerja ,10 Juni 2021

Anih Sri Suryani, Perizinan Lingkungan Dalam Undang – Undang Cipta Kerja Dan Dampaknya Terhadap Kelestarian Lingkungan , Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jakarta

Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia, Siaran Pers, No. HM.4.6/142/SET.EKON.2.3/10/2020. Izin AMDAL dalam UU Cipta Kerja Tidak Dihapus, Hanya Disederhanakan

RUU Cipta Kerja: Izin Lingkungan dihapus, Wewenang Amdal Ada di Pemerintah Pusat   https://kliklegal.com/ruu-cipta-kerja-izin-lingkungan-dihapus-wewenang-amdal-ada-di-pemerintah-pusat/ , 03 Maret 2020

 

Tim Riset dan Publikasi Katadata’ “Urgensi Pengelolaan Lingkungan setelah UU Cipta Kerja – Analisis Data Katadata” https://katadata.co.id/padjar/analisisdata/60dbe31e82360/urgensi-pengelolaan-lingkungan-setelah-uu-cipta-kerja

Wahyu Yun Santoso, Sandingan Perubahan Ketentuan Lingkungan Hidup dalam Undang – undang  Cipta Kerj, PSLH UGM

[1]  Wahyu Yun Santoso, Sandingan Perubahan Ketentuan Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerj, PSLH UGM

[2]  Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia, Siaran Pers, No. HM.4.6/142/SET.EKON.2.3/10/2020. Izin AMDAL dalam UU Cipta Kerja Tidak Dihapus, Hanya Disederhanakan

[3]  Tim Riset dan Publikasi Katadata’ “Urgensi Pengelolaan Lingkungan setelah UU Cipta Kerja – Analisis Data Katadata” https://katadata.co.id/padjar/analisisdata/60dbe31e82360/urgensi-pengelolaan-lingkungan-setelah-uu-cipta-kerja

[4]  https://kliklegal.com/ruu-cipta-kerja-izin-lingkungan-dihapus-wewenang-amdal-ada-di-pemerintah-pusat/ RUU Cipta Kerja: Izin Lingkungan dihapus, Wewenang Amdal Ada di Pemerintah Pusat, 03 Maret 2020

[5]  Anih Sri Suryani, Perizinan Lingkungan Dalam Undang – Undang Cipta Kerja Dan Dampaknya Terhadap Kelestarian Lingkungan , Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Jakarta

 

Scroll to Top
Open chat
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Kantor Advokat & Konsultan Hukum Yoedhi Simanjuntak, punya pertanyaan seputar permasalahan hukum dan sebagainya? Silakan hubungi tim kami untuk berkonsultasi lebih lanjut.