Perkara perceraikan biasanya akan menimbulkan persoalan baru pasca terjadinya perceraiaan lewat putusan pengadilan. Persoalan yang muncul diantaranya terkait permasalahan pembagian harta gono gini (hal ini terjadi jika tidak ada perjanjian pisah harta) dan hak asuh atas anak. Lazimnya perkara hak asuh anak dimasukkan dalam tuntutan gugantan cerai, namun bila hal itu tidak dilaksakan, maka celah timbulnya masalah baru terbuka dan tidak dapat dimungkiri salah satu pihak akan mengajukan mengenai hak tersebut untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Tulisan ini tidak membataskan hanya pada hak asuh anak yang telah mendapatkan penetapan putusan pengadilan, namun memberikan pandangan berdasarkan perspektif UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam Pasal 41, undang- undang terkait menyebutkan;
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Merujuk kepada pasal 41 tersebut di atas tidak ditemukan kalimat “hak asuh anak”, pasal tersebut menekankan tentang “kewajiban memelihara dan mendidik anak”. Mengenai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama. Dalam hal gugatan cerai dalam tuntutannya tidak memasukkan mengenai hak asuh anak, maka permasalahan hak asuh anak pun tidak perlu untuk diselesaikan melalui pengadilan. Mengenai hak anak untuk menerima pemeliharaan dan didikan dari orang tua dengan serta merta menjadi tanggungjawab kedua orang tua ketika anak tersebut dilahirkan. Hak anak untuk di asuh dan dipelihara oleh kedua orang tua dengan sangat jelas ditegaskan dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 14 ayat (1) menyebutkan : “Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.”
Hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dari kedua orang tuanya bisa saja terjadi pemisahan, namun hal ini merupakan suatu pengecualikan hanya dengan alasan dan/atau aturan hukum yang sah. Bila terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1), maka hak anak untuk menerima pengasuhan dari kedua orang tua mereka tidak boleh hilang, hal ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat (2) yang menyebutkan: “dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan d. memperoleh Hak Anak lainnya”.
Mendasari isi pasal 14 ayat (1), ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tersebut di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang tegas bahwa: apapun dan bagaimanapun kondisi dan keadaan orang tua, baik dalam keadaan rujuk/akur ataupun dalam keadaan sudah bercerai, maka hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban kedua orang tua untuk memberikan hak yang wajib dan patut diterima oleh anak, dengan kata lain bahwa hak asuh atas anak tetap menjadi kewajiban kedua belah pihak yaitu orang tua.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan pemegang hak asuh anak? Nah, jika ini yang menjadi persoalan, maka aturan yang mengatur terkait “pemegang hak asuh anak” dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Buku I Hukum Perkawinan, Bab XIV Pemeliharaan Anak, Pasal 105 hukum terkait menyebutkan: Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c.biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dalam pasal 105 huruf (a) terlihat jelas bahwa pemegang hak asuh anak terhadap anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu (hak istri) sampai sesaat anak berusia di atas 12 tahun maka pemegang hak asuh anak dengan sesaat terhenti apabila sang anak memilih untuk tidak diasuh oleh ibunya.
Ketentuan lain tentang pemegang hak asuh anak dimiliki oleh Ibu tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 102/K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 yang menyatakan bahwa: berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa Ibu Kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anaknya yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya”. Putusan lain yang serupa yaitu keputusan Mahkamah Agung No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa anak yang masih dibawah umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada oramg teerdekat dan akrab dengan anak, yakni ibu. Namun ada kalanya pemegang hak asuh anak dari ibu dapat berpindah kepada ayah karena disebabkan oleh faktor – faktor atau alasan – alasan lain yang terdapat dalam diri sang ibu dimana faktor dan alasan-alasan tersebut dapat dianggap bahwa ibu tidak cakap untuk mengasuh anaknya.
Demikian sekilas pembahasan tentang pemegang hak asuh anak dilihat dari perspektif undang – undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Disclaimer:
Informasi yang termuat dalam website ini disajikan untuk tujuan informasi umum, tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum dan informasi mungkin tidak berlaku untuk keadaan faktual atau hukum tertentu.