Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia yang awal terbentuknya dari sebuah kaidah kehidupan kearifan lokal suatu masyarakat tertentu. Kaidah-kaidah kehidupan tersebut oleh karena dihidupi dan dijunjung tinggi, maka kaidah kehidupan tersebut menjelma menjadi sebuah hukum, dan hukum tersebut diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hukum tersebut dikenal dengan istilah hukum yang hidup dalam masyarakat, atau yang dikenal saat ini dengan sebutan hukum adat. Hukum adat mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya yang berlaku dan hidup dengan turun-temurun, termasuk dalam hal penyelesaian sebuah perkara, hukum adat mengambil perannya.
Dalam proses penyelesaian suatu perkara atau sengketa, penyelesaian sengketa dengan hukum adat memiliki sistem atau mengambil pola tersendiri. Terdapat karakteristik yang khas dan unit apabila dibandingkan antara sistem hukum adat dengan sistem hukum lainnya. Oleh karena hukum adat tumbuh, berkembang, dan hidup dari dalam masyarakat itu sendiri, maka hal tersebut menjadikan hukum adat telah bersenyawa sehingga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat tersebut. Nilai, kaidah, norma yang ada dalam masyarakat disepakati bersama dan diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Keberadaan hukum adat secara resmi telah diakui oleh negara, merujuk pada pasal 18B ayat(2) UUD 1945 dimana menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, hal ini berarti bahwa negara kesatuan republik indonesia secara nyata mengakui keberadaan hukum adat dan serta konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia.
Menyelesaikan sebuah perkara atau sengketa menggunakan sistem hukum adat dengan pola adat itu sendiri, atau sering juga disebut pola kekeluargaan. Cara ini digunakan untuk semua jenis perkara baik sengketa perdata maupun sengketa pidana. Penyelesaian dengan pola tersebut juga menuntut adanya kompensasi atau sanksi atau hukuman terhadap sipelaku atau sipelanggar hukum adat.
Dalam ssitem hukum adat juga mengenal apa yang disebut dengan mediasi. Penanganan perkara atau sengketa melalui mediasi tidak sulit dilakukan dan pada umumnya berhasil, hal tersebut dikarenakan hubungan antar masyarakat setidaknya masih ada pertalian kekerabatan, ditambah lagi adanya adat ketimuran yang begitu kental mengakar dalam masyarakat untuk menjaga dengan erat tali persaudaraan dan silaturahmi yang telah terbangun secara turun-temurun.[1]
Perdamaian bagi yang berkonflik atau yang sedang berperkara lebih mudah dicapai, hal ini disebabkan karena pola pikir masyarakat adat yang hidup dalam sistem adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa dengan upaya musyawarah. Musyarakah menjadi alat utama dalam menyelesaikan perkara, karena dengan musyawarah akan ditemukan sebuah cara penyelesaian yang menguntungkan kedua pihak. Masing-masing pihak yang saling berkonflik akan saling memaafkan dan mengakhiri pertikaian dengan tanpa harus membawa perkaranya kehadapan pengadilan negara, sehingga dengan demikian pemulihan keadaan kembali kepada keadaan semula lebih cepat terjadi, dan hubungan kedua pihak tetap terjaga dengan baik dan harmonis.
Sengketa atau pun perkara sering terjadi, sejak dari zaman purba hingga zaman modern seperti yang terjadi sekarang ini. Zaman dimana era digitalisasi yang serba canggih, tidak tertutup pintu konflik, dan bahkan lebih terbuka lebar. Tidak sedikit konflik atau sengketa yang berujung atau berakhir dimeja hijau, ruang pengadilan. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebuah perubahan peradaban dalam tatanan kehidupan masyarakat. Terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat zaman dulu dengan masyarakat zaman sekarang yang sebagian besar karakteristiknya dipengaruhi oleh sebuah perkembangan tegnologi komunikasi dan informasi yang serba terbuka, yang memengaruhi pola pikir, perilaku dan lain sebagianya, dan bahkan ketika terjadi konflik atau sengketa diantara dua pihak sistem penyelesaiannya pun menjadi berbeda, dimana para pihak cengderung menyelesaikan konfliknya melalui jalur hukum ketimbang jalur atau cara-cara kekeluargaan. Perkara yang berkaitan dengan tindak pidana contohnya, apabila bagi yang berkonflik menempuh jalur penyelesaian melalui jalur hukum yakni melalui pengadilan negara, maka penjara tidak dapat dihindarkan, akibatnya konfik akan semakin tajam, dilain hal lembaga pemasyarakatan dimungkinkan untuk penuh sesak.
Kapolri, Bapak Listyo Sigit Prabowo diawal jabatannya sebagai Kapolri mencanangkan sebuah program penyelesaian masalah melalui sebuah pendekatan yang disebut Restorative Justice (pemulihan keadilan). Pendekatan melalui restorative justice termuat dalam SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021. Sebelumnya surat edaran yang serupa pernah diterbitkan oleh Kapolri sebelumnya yaitu Bapak Prof.H. Muhammad Titto Karnavian menerbitkan SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi di Indonesia.
Konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) merupakan suatu model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Dasar terbentuknya Konsep Restorative Justice berasal dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar pengadilan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970 an di Canada.[2] Penyelesaian perkara pidana di dalam maupun di luar proses pengadilan yang menitikberatkan pada adanya musyawarah dan partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana yang mengembalikan keadaan seperti semula (pemulihan) adalah restorative justice.[3] Dengan pendekatan restorative justice ini, pendekatan ini fokus pada partisipasi secara langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus-kasus pidana. Memang pendekatan ini dalam praktek masih mengalami perdebatan secara teori, namun pandangan ini berkembang dan mempunyai dampak terhadap kebijakan hukum (legal policy) dan praktik penegakan hukum di beberapa negara. Restorative justice dianggap sebagai bentuk pemikiran baru yang dapat digunakan untuk merespon berbagai kejahatan dan menjawab ketidakpuasan dari kinerja sistem peradilan pidana pada saat ini.[4]
Paradigma mengenai restorative justice mengasumsikan adaknay sebuah kemurahan hati, empati, supportif, dan rasionalitas jiwa manusia melalui sebuah pelaknaan mediasi, yang melibatkan korban, dan pelaku yang mengedepankan nilai-nilai kepedulian terhadap setiap individu. Restorative Justice dapat dipandang sebagai penggabungan konsepsi keadilan rasional dengan keadilan partisipatif dalam teknik penyelesaian tindak pidana yang didasarkan pada ranvangan, pelaksaan, dan evaluasi. Pendekatan keadilan restoratif sejalan dengan model keseimbangan kepentingan, karena fokus utamanya pada kebutuhan korban, bukan hanya kebutuhan pelaku. Keadilan restoratif berusaha memberikan penyelesaian konflik dan berusaha menjelaskan kepada pelaku tindak pidana bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan tidak dimaafkan oleh negara, namun negara sekaligus berusaha memberi dukungan dan menghormati individu agar menjadi lebih baik, agar dapat memulihkan korban kejahatan. Keadilan restoratif menekankan pada upaya untuk mendorong pelaku agar memikirkan dan memberi solusi (bertanggung jawab) atas kejahatan yang telah dilakukannya kepada korban.[5]
Pendekatan melalui restorative justice merupakan sebuah desain yang memperhatikan kepentingan korban, keluarga serta masyarakat yang turut terpengaruh atas dasar pertanggungjawaban pelaku, sehingga peradilan pidana tidak hanya bertujuan untuk menjatuhkan hukuman atau meminta pertanggungjawaban pelaku saja, namun didalamnya ada sebuah keseimbangan yang mengakomodir kepentingan pelaku dan juga korban.
Model penyelesaian konflik yang diterapkan dalam restorative justice hampir tidak jauh berbeda dengan penerapan model dari sistem hukum adat yang pada pokoknya menyelesaikan suatu perkara atau sengketa diluar jalur hukum atau pengadilan. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat cukup memberi ruang bagi perdamaian terhadap siapa saja yang bersengketa, dan tidak dapat dimungkiri perdamaian justru lebih mudah dicapai. Maka pengembangan nilai-nilai masyarakat perlu dihidupkan dan ditonjolkan untuk merangsang agar restorative justive memiliki ruang dan tempat bagi penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh sebab itu, simpulan yang dapat diambil adalah bahwa penyelesaian konflik dengan pendekatan restorative justice jika dilihat dari perspektif hukum adat dapat dikatakan sejalan atau setujuan, meski berbeda dalam pelaksanaan.
Referensi
[1] Dheny Wahyudhi dan Herry Liyus, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal Sains Sosio Humaniora 4 No 2 Desember (2020): 499.
[2] Lidya Rahmadani Hasibuan M.Hamdan, Marlina, dan Utary Maharani Barus, Restorative Justice sebagai pembaruan sistem peradilan pidana berdasarkan UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Usu Law Jurnal, Vol.3,No.3
[3] Josefhin Mareta, “Penerapan Restorative Justice Melalui Pemenuhan Restitusi pada Korban Tindak Pidana Anak”, Jurnal Legislasi Indonesia 15 No 4 (2018): 313
[4] Juhari, “Restorative Justice Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, Jurnal Spektrum Hukum 14 No 1 (2017): 98.
[5] Hariman Satria, “Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana”, Jurnal Media Hukum 25 No 1 (2018): 118
Disclaimer:
Informasi yang termuat dalam website ini disajikan untuk tujuan informasi umum , tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum dan/atau mungkin informasi didalamnya tidak berlaku untuk keadaan faktual atau hukum tertentu.