Tidak terpenuhinya formalitas gugatan dalam kententuan hukum acara perdata apabila dikaitkan dengan kriteria kaburnya surat gugatan, tentang hal tersebut tidak secara rinci diatur, dan bahkan dalam HIR/R.Bg sekalipun. Istilah turut Tergugat tidak dikenal dalam HIR atau pun R.Bg. Tidak dinyatakan dengan tegas dan secara rinci mengenai turut tergugat dalam HIR/R.Bg karena turut tergugat dipandang sebagai “pelengkap” atau hanya untuk melengkapi sehingga dengan demikian muncul berbagai penafsiran dan bersifat majemuk dari para hakim dari masing-masing tingkatan persidangan, dari tingkat pertama, banding maupun kasasi.
Sebagai contoh, terdapat 3(tiga) jenis putusan hakim Mahkamah Agung sebagai referensi yang menyatakan betapa penafsiran tersebut sangat majemuk;
a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 288/K/AG/1996 tanggal 28 Oktober 1998 Hakim Tingkat Kasasi dalam pertimbangannya menyatakan: “Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, menurut pendapat Mahkamah Agung, yudex facti telah salah menerapkan hukum, seharusnya gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris dijadikan pihak dalam gugatan tersebut (gugatan obscuur libel)”.
b) Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973, dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex facti (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
Pandangan hukum dari para hakim yang melihat suatu perbedaan tentang bentuk formalitas sebuah gugatan akan melahirkan sebuah putusan yang tentunya tidak menyelesaikan sengketa, akibat dari keragaman putusan yang tentunya berpengaruh kepada terabaikanya azas peradilan yang bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan.
Memperhatikan syarat formil surat gugatan ahli waris, tentunya dengan terlebih dahulu harus merujuk kepada dasar hukumnya. Landasan hukum terhadap syarat formil surat gugatan ahli waris sangat perlu diperhatikan sebagai acuan pola berpikir dalam menyelesaikan sebuah sengketa sehingga solusi-solusi yang diberikan dapat menjawab pokok persoalan.
Rangkaian dasar atau landasan hukum terkait surat gugatan dipengadilan agama dapat ditemukan dalam :
a) Rv. Pasal 8 ayat (3) menyatakan:
Surat gugatan harus dibuat secara sistematis dengan unsur-unsur identitas para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari gugatan serta petitum atau apa yang diminta/dituntut). Ketentuan di atas menunjukkan bahwa, surat gugatan harus dibuat secara sitematis yang minimal di dalamnya harus memenuhi 3 unsur:
1. Para pihak (Subyek Hukum) gugatan;
2. Uraian alasan (Posita) sebagai dasar tuntutan;
3. Tuntutan (petitum) yang diminta.
b) R.Bg Pasal 142 dan HRI Pasal 118 HIR menyatakan:
Gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Syarat formil surat gugatan harus memenuhi 2 unsur:
o Dibuat secara tertulis Surat gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan harus dibuat secara tertulis, bahkan dalam hal seseorang (pencari keadilan) tidak dapat membaca dan menulis diperintahkan untuk menghadap ke Ketua Pengadilan untuk dibuatkan gugatan lisan oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.
o Diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa syarat formal pegajuan gugatan harus dengan melihat kompetensi Pengadilan dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara yang akan diajukan, baik dari segi kompetensi relatif, lebih-lebih berkenaan dengan kompetensi absolute Pengadilan tersebut.
c) R.Bg.Pasal 143 dan HIR Pasal 119 menyatakan:
Ketua Pengadilan berwenang memberikan nasihat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang kurang pengetahuannya tentang hukum formil dan meteriil itu).
d) Yurisprudensi Putusan MA RI No. 547 K/Sip/1972 tanggal 15 Maret 1972 , oleh karena HIR dan R.Bg tidak menentukan syarat-syarat tertentu dalam isi surat gugatan, maka para pihak bebas menyusun dan merumuskan gugatan tersebut asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya).
Hal lain yang menjadi perlu diperhatikan adalah Subjek Hukum dalam Gugatan Waris. Subjek hukum atau pelaku hukum merupakan hal terpenting. Kesalahan dalam menetapkan subjek hukum akan menimbulkan gugatan tersebut cacat formal(formil), termasuk didalamnya kekurangan subjek hukum sebagai pihak atas gugatan waris tersebut. Subjek Hukum adalah pemegang hak dan kewajiban yang diatur menurut hukum dan undang-undang sehingga memberikan kekuasaan atau kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Hukum acara perdata dalam sebuah gugatan mengkualifikasikan subyek hukum kedalam 2(dua) bagian, yaitu Penggugat dan Tergugat. Penggugat adalah seseorang baik untuk dan atas dirinya maupun untuk dan atas nama suatu lembaga dimana haknya dilanggar, sedangkan Tergugat adalah seseorang atau badan hukum yang dihadapkan dimuka persidangan yang dianggap melanggar hak Penggugat.
Seiring perkembangan hukum di Indonesia muncullah istilah “Turut Tergugat”. Turut tergugat ditujukan kepada orang-orang atau pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan terhadap objek sengketa dan tidak berkewajiban untuk bertindak atau melakukan sesuatu terhadap objek dan kedudukannya sebagai pelengkap dalam sebuah gugatan. Keterlibatan Turut Tergugat dalam gugatan waris diperlukan sebagai penguat terhadap objek sengketa yang digugat oleh Penggugat. Turut Tergugat kedudukannya dalam gugatan waris bukan berarti disamakan kedudukannya seperti Tergugat atau Penggugat, namun sebagai pelengkap atau penguat dan juga sebagai turut serta untuk menaati putusan pengadilan setelah dibacakan.
Dalam menentukan pihak-pihak yang menjadi Turut Tergugat dalam Gugatan Waris, terlebih dahulu perlu mengetahui klasifikasi siapa subjek hukum dalam sebuah gugatan waris, sebagaimana diuraikan dibawah:
1) Orang (ahli waris) yang merasa hak kewarisannya dilanggar oleh ahli waris yang lain, maka orang tersebut disebut Penggugat;
2) Orang (ahli waris) yang melanggar hak waris dari ahli waris yang lainnya, dapat berupa secara nyata telah dan masih menguasai harta warisan dan atau orang yang secara sepihak telah menjual harta warisan, maka orang tersebut didudukkan sebagai Tergugat;
3) Orang (ahli waris) yang secara nyata tidak menguasai harta warisan dan tidak menggugat harta warisan dari orang (ahli waris) yang menguasai harta warisan. Orang semacam ini dapat disebut sebagai Tergugat.
4) Orang (bukan ahli waris) yang nyata-nyata telah menguasai harta warisan, misalnya dengan cara membeli, menggadai, atau dengan cara-cara lain harta warisan tersebut, maka ia didudukkan sebagai turut Tergugat, karena orang tersebut dalam posisi hukum kewarisan bukan merupakan ahli waris.
Mendudukkan Turut Tergugat dalam Gugatan. Apakah tidak mendudukkan turut Tergugat dalam gugatan waris menjadikan gugatan kurang pihak (plurium litis consortium)?. Pertanyaan ini penting untuk disimak. Sebelum memberikan sebuah argumentasi , maka hal yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan PLURIUM LITIS CONSORTIUM.
PLURIUM LITIS CONSORTIUM berasal dari bahasa latin pluries berarti banyak, litis consertes berarti kawan sejawat pihak berperkara. Salah satu contoh kasus plurium litis consortium adalah terdapat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975, dimana pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi dikuasai oleh Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat. Perlu diketahui bahwa putusan di atas merupakan pertimbangan terhadap plurium litis consortium dalam perkara kebendaan murni (bukan kewarisan), sehingga menimbulkan pertanyaan apakah dalam perkara kewarisan akan berlaku sama?
Mendudukan turut Tergugat yang ianya merupakan ahli waris yang berhak menerima bagian harta warisan hukumnya adalah suatu keharusan, sehingga tidak mengikut sertakannya turut Tergugat tersebut akan menjadikan gugatan kurang pihak (plurium litis consortium) pendapat ini berdasar pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2438/K/Sip/1980 tanggal 22 Maret 1982. (Muh. Nasikhin, S.HI.MH).
Disclaimer:
Informasi yang termuat dalam website ini disajikan untuk tujuan informasi umum, tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum dan/atau mungkin informasi didalamnya tidak berlaku untuk keadaan faktual atau hukum tertentu.